Monday, March 28, 2005

Panggilan sayang bikin "pusyiiing"

Senin pagi seperti biasa gedubrakan pergi kantor, kesiangan bangun karena tidak sholat. Jalanan macet parah, banyak kecelakaan di tol. Habis sarapan di kantor aku contact someone special. Siangan dikit beli pulsa sama Leni anak pre-press, keluar ruangan ada gerombolan anak design grafis. "Mbak Peggy..." teriak sebagian dari mereka. "Pusyiiing......" teriak sebagian yang lain mengikuti gaya Peggy Melati Sukma di sinetron Gerhana...he..he..he...kelakuan! Kebiasaan buruk mereka dari 3 tahun lalu nggak hilang-hilang, panggil aku Peggy. Lihat aja testimonialku di: Friendster

Sorean dikit ke ruangan design grafis lagi, kali ini bayar rempeyek dagangan Mbak Ida. Lihat undangan pernikahan Koes dg Agus, eh dengar Widi teriak “Peggy!”. “Apa?” jawabku. “Kapan nih, nikahnya?”. “Insya Allah dalam waktu dekat, doa-in aja yach?” “Jangan sama orang Padang Peggy, nanti minta dibeli. Sama orang Jawa aja, kaya aku”. “Nggak ah, kelamaan tunggu gede-nya”. Habis ngomong gitu aku langsung ngeloyor pergi, nggak mau ngeracunin anak ABG lagi, kapok!

Thursday, March 17, 2005

Good news or bad news?

I have butterflies on my stomach, wondering what news my aunty may brings for my mom. The line still busy and I have no clue!

Thursday, March 10, 2005

Balada pengamen

Segala cara dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau mendapatkan penghasilan. Ngamen merupakan salah satu pilihan yang banyak digunakan dan mulai “digemari” semenjak krisis moneter melanda tanah air. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mereka yang memilih cara ini, terkadang pengamen sering menimbulkan ketidak-nyamanan penghuni kendaran umum.

Sekitar tahun 1998, pertama kalinya saya melihat pengamen yang berani tampil beda yakni dengan deklamasi puisi di atas patas AC 08 jurusan Blok M-Pulogadung setiap pulang kantor. Saat itu saya sangat menikmati hasil karya pengamen tersebut yang (setidaknya menurut saya) memiliki nilai seni karena diselingi dengan tiupan seruling dengan irama khas Sunda.

Setelah pindah kantor dari daerah Sudirman ke Kawasan Industri Pulogadung, bus mini yang saya selalu saya tumpangi juga tak pernah alpa disinggahi pengamen. Ada yang bermodalkan gitar lengkap dengan harmonika atau drum mini, okulele, ada juga yang cukup dilengkapi alat musik buatan sendiri seperti dari kaleng tutup botol yang dipipihkan, atau botol minuman berisi pasir.

Lama kelamaan entah karena terbatasnya kemampuan memiliki alat musik, atau memang sama sekali tidak pandai memainkan alat musik, banyak diantara mereka yang hanya bermodalkan tepuk tangan dengan suara yang mirip mobil Panter, “nyaris tak terdengar”.

Membaca puisi juga salah satu alternatif yang diminati, namun menurut pendapat saya kebanyakan lebih mirip protes yang memprovokasi masyarakat. Temanya apalagi kalau bukan masalah politik dan sosial yang berkembang saat itu. Parahnya lagi, ada yang mengancam dengan mengatakan mereka baru saja keluar dari penjara dan memaksa penumpang untuk membayar, atau lebih tepatnya mereka lebih mirip tukang palak daripada pengamen.

Saya pernah menghardik salah satu dari mereka (kebetulan sedang pra-menstruasi syndrom) yang dengan seenaknya mencuncang-guncang lengan saya yang baru saja tertidur pulas karena kecapaian. Alhamdulillah perlindungan Allah masih pada saya sehingga saat itu tidak diperlakukan kasar oleh mereka. Sementara penumpang lain dengan terpaksa memberikan uang, bahkan kalaupun tidak ada, topi ataupun rokok mereka “embat” juga.

Mengamen sambil menggendong anak yang kumal juga metode jitu dalam menarik simpati penumpang. Penderita tuna netra juga paling banyak mendapat saweran, yang ini saya secara pribadi kagum dan tidak ragu-ragu memberikan sedikit rejeki saya. Namun tidak dipungkiri banyak juga dari pengamen yang menghibur, bahkan bisa pesan lagu, asyik khan?

Satu lagi kebiasaan yang saya temui di bus, mungkin tidak termasuk kategori ngamen, yakni menggalang dana untuk pembangunan masjid. Yang menarik, seorang teman saya bersikukuh pada pendapatnya bahwa meminta sumbangan untuk pembangunan masjid di bus kota adalah tidak tepat. Alasannya karena tidak semua penghuni beragama Islam, kenapa tidak di masjid saja?

Saya menjawab waktu itu karena tidak semua orang shalat di masjid dan tidak semua orang yang shalat di masjid mampu berzakat. Lalu dia bilang bisa saja dana tersebut diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Saya jawab lagi kalau memang demikian biarlah dia menanggung dosanya, yang penting niat kita baik.

Ternyata kekhawatiran teman saya itu ada benarnya juga, seseorang pernah mengaku pada ibu saya karena desakan ekonomi dia memakai cara itu untuk ongkos pulang kampung, meskipun terpaksa. Nauzubillah....

Pagi ini dalam perjalanan ke kantor seseorang mengusik lamunan saya di bus dengan suara lantangnya mengucapkan salam kemudian dilanjutkan dengan shalawat dan kalimat pembuka lainnya layaknya seseorang akan berpidato. Saya menerka apa kira-kira yang akan diperbuatnya, apakah akan deklamasi atau mengamen atau meminta sumbangan untuk pembangunan masjid.

Ternyata, beliau berdakwah! Suatu kemajuan setelah akhir-akhir ini beberapa pengamen menyanyikan lagu-lagu Bimbo dan Hadat Alwi yang juga bernuansa dakwah. Tapi, apakah “mengamen” dakwah diperbolehkan? Any comment?

Monday, March 07, 2005

Om ketemu gede

Sabtu kemarin janjian ketemu sama tanteku (tante beneran, bukan tante Monik). Dia itu adik ipar dari sepupunya bokap. Ceritanya mo ngajak bisnis Star One phone, berhubung rumahnya ada penyemprotan nyabuk DBD, akhirnya kita ke rumah temannya di Pasar Minggu yang sekalian mau diajakin bisnis juga. Sampe disana aku dikenalin gitu sama adik temannya yang sepantaran aku.

Mmmm...sekilas jadi ingat lagunya mas Iwan Fals: wajah cukup lumayan, dapat point enam, bila dia berjalan rembulanpun padam...he..he...kebiasaan nyontek lagu nggak hilang-hilang. Orangnya pendiam banget, dan aku merasa dia seperti memperhatikan semua gerak-gerikku. Tanteku kasih bocoran kalau ternyata dia itu masih single. Tapi aku khan sudah insyaf...jadi aku lebih banyak menundukkan pandangan dari laki-laki yang bukan muhrim. Atau jangan-jangan muhrim ya? Soalnya dia itu khan teman tanteku, tapi sekarang katanya sudah jadi ipar. Berarti dia itu adalah....OM-ku! Oh no.....

Pagi ini bangun kesiangan, jam setengah enam. Berangkat dari rumah jam setengah tujuh, sampai dikantor so pasti terlambat. Tapi nggak parah-parah amat, jam delapan seperempat. Sampai kantor si Mbah Heri bilang kalau semalam dia mimpiin aku cantik sekali, mukaku jadi mirip Krisdayanti, plus gaya rambutnya. Wah, kalau gitu aku buka jilbab donk! “Kamu lagi kasmaran yach Lex?” kata dia. Ih, sok tahu!

Friday, March 04, 2005

Pecah rekor

Hari ini macet dimana-mana. Minibus semuanya miring kekiri karena kepenuhan. Kalau saja masih ada space, aku pasti loncat and gelantungan di pintu seperti biasa, sekalian jadi kenek! Pikir-pikir daripada tambah telat, naik bus ke Senen dari Bekasi Timur, turun sebelum Jatinegara, nyambung lagi ke Pulogadung. Eh, ternyata tambah telat karena di tol macet sekali. Akhirnya pecah rekor dech, sampai di kantor Pk. 09.30!

Siang ini aku makan sambil buka situs-situs Islam yang direkomendasikan Muslimah berjilbab blog. Bertambah ilmu, bertambah banyak kekurangan diri yang aku rasa. Mudah-mudahan aku bisa meng-aplikasikan ilmu tersebut dalam hidupku, Insya Allah.