Thursday, March 10, 2005

Balada pengamen

Segala cara dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau mendapatkan penghasilan. Ngamen merupakan salah satu pilihan yang banyak digunakan dan mulai “digemari” semenjak krisis moneter melanda tanah air. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap mereka yang memilih cara ini, terkadang pengamen sering menimbulkan ketidak-nyamanan penghuni kendaran umum.

Sekitar tahun 1998, pertama kalinya saya melihat pengamen yang berani tampil beda yakni dengan deklamasi puisi di atas patas AC 08 jurusan Blok M-Pulogadung setiap pulang kantor. Saat itu saya sangat menikmati hasil karya pengamen tersebut yang (setidaknya menurut saya) memiliki nilai seni karena diselingi dengan tiupan seruling dengan irama khas Sunda.

Setelah pindah kantor dari daerah Sudirman ke Kawasan Industri Pulogadung, bus mini yang saya selalu saya tumpangi juga tak pernah alpa disinggahi pengamen. Ada yang bermodalkan gitar lengkap dengan harmonika atau drum mini, okulele, ada juga yang cukup dilengkapi alat musik buatan sendiri seperti dari kaleng tutup botol yang dipipihkan, atau botol minuman berisi pasir.

Lama kelamaan entah karena terbatasnya kemampuan memiliki alat musik, atau memang sama sekali tidak pandai memainkan alat musik, banyak diantara mereka yang hanya bermodalkan tepuk tangan dengan suara yang mirip mobil Panter, “nyaris tak terdengar”.

Membaca puisi juga salah satu alternatif yang diminati, namun menurut pendapat saya kebanyakan lebih mirip protes yang memprovokasi masyarakat. Temanya apalagi kalau bukan masalah politik dan sosial yang berkembang saat itu. Parahnya lagi, ada yang mengancam dengan mengatakan mereka baru saja keluar dari penjara dan memaksa penumpang untuk membayar, atau lebih tepatnya mereka lebih mirip tukang palak daripada pengamen.

Saya pernah menghardik salah satu dari mereka (kebetulan sedang pra-menstruasi syndrom) yang dengan seenaknya mencuncang-guncang lengan saya yang baru saja tertidur pulas karena kecapaian. Alhamdulillah perlindungan Allah masih pada saya sehingga saat itu tidak diperlakukan kasar oleh mereka. Sementara penumpang lain dengan terpaksa memberikan uang, bahkan kalaupun tidak ada, topi ataupun rokok mereka “embat” juga.

Mengamen sambil menggendong anak yang kumal juga metode jitu dalam menarik simpati penumpang. Penderita tuna netra juga paling banyak mendapat saweran, yang ini saya secara pribadi kagum dan tidak ragu-ragu memberikan sedikit rejeki saya. Namun tidak dipungkiri banyak juga dari pengamen yang menghibur, bahkan bisa pesan lagu, asyik khan?

Satu lagi kebiasaan yang saya temui di bus, mungkin tidak termasuk kategori ngamen, yakni menggalang dana untuk pembangunan masjid. Yang menarik, seorang teman saya bersikukuh pada pendapatnya bahwa meminta sumbangan untuk pembangunan masjid di bus kota adalah tidak tepat. Alasannya karena tidak semua penghuni beragama Islam, kenapa tidak di masjid saja?

Saya menjawab waktu itu karena tidak semua orang shalat di masjid dan tidak semua orang yang shalat di masjid mampu berzakat. Lalu dia bilang bisa saja dana tersebut diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Saya jawab lagi kalau memang demikian biarlah dia menanggung dosanya, yang penting niat kita baik.

Ternyata kekhawatiran teman saya itu ada benarnya juga, seseorang pernah mengaku pada ibu saya karena desakan ekonomi dia memakai cara itu untuk ongkos pulang kampung, meskipun terpaksa. Nauzubillah....

Pagi ini dalam perjalanan ke kantor seseorang mengusik lamunan saya di bus dengan suara lantangnya mengucapkan salam kemudian dilanjutkan dengan shalawat dan kalimat pembuka lainnya layaknya seseorang akan berpidato. Saya menerka apa kira-kira yang akan diperbuatnya, apakah akan deklamasi atau mengamen atau meminta sumbangan untuk pembangunan masjid.

Ternyata, beliau berdakwah! Suatu kemajuan setelah akhir-akhir ini beberapa pengamen menyanyikan lagu-lagu Bimbo dan Hadat Alwi yang juga bernuansa dakwah. Tapi, apakah “mengamen” dakwah diperbolehkan? Any comment?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home